Tulisan tentang perkembangan koperasi Yogyakarta 2019 ini adalah catatan untuk hari koperasi 2019 yg secara nasional dipusatkan di Banyumas. Dalam sebuah grup diskusi Koperasi yang anggotanya tokoh2 koperasi nasional ramai sekali di bahas tentang isu “seremonial” tahunan koperasi. Pertanyaan terbesarnya adalah, benarkah peringatan hari koperasi hanya sekedar seremonial saja?
Menilik perkembangan koperasi Indonesia sampai dengan saat ini tidak heran jika banyak orag merasa pesimis terhadap masa depan koperasi, perkembangan yang lambat dan banyaknya penyalahgunaan koperasi untuk tujuan kriminal seperti penipuan berkedok koperasi membuat nama koperasi semakin terpuruk.
Sebagai orang yang mengedepankan fakta ilmiah saya selalu berusaha menyandingkan hipotesis publik terhadap fakta real dilapangan, kita bisa menjawab banyak pertanyaan termasuk apakah benar koperasi Indonesia lambat berkembang dan bagaimana sebenernya dinamika koperasi Indonesia.
Jumlah Koperasi Yogyakarta Menurun
dari data keragaan koperasi yang dirilis bapeda terlihat sejak tahun 2016 jumlah koperasi di Yogyakarta terus menurun dari segi jumlah, tahun 2016 jumlah keseluruhan koperasi di wilayah DIY adalah 2738 kemudian turun hingga 2380 koperasi dahan pada akhir tahun 2018 jumlah koperasi hanya tinggal 1989.
Jumlah koperasi aktif di tahun 2018 juga tidak lebih baik di banding tahun 2016, tercatat saat ini ada sekitar 1.926 koperasi aktif jauh lebih kecil di banding 2 tahun sebelumnya yang mencapai 2.427. Meskipun demikian tetap ada prestasi yang bisa diapresiasi yaitu turunnya jumlah koperasi tidak aktif yang sangat significant dari 598 pada 2017 menjadi hanya 63 di tahun 2018, sayangnya di th 2019 di prediksi akan ada 125 unit koperasi yang tidak aktif dan di ikuti oleh jumlah koperasi aktif yang juga diprediksi menurun.
Volume Usaha Koperasi Yogyakarta
Koperasi pada prinsipnya seharusnya tidak menjadikan omzet atau volume usaha sebagai satu satunya tolak ukur keberhasilan koperasi tetapi lebih kepada seberapa besar kemanfaatan yang diperoleh anggota.
Omzet koperasi yogyakarta di tahun 2018 mengalami peningkatan yoy dari 3,6 T menjadi 4,39 T namun angka ini masih berada di bawah perolehan tahun 2016 yang mencapai 4,4 T. Jika dilihat dari aspek ekonomi makro sumbangsing koperasi terhadap GDP juga terbilang kecil hanya 3,3 % sangat jauh dengan KUKM yang mencapai 79 , % dari GDP.
Terus menurunnya jumlah koperasi yang berimbas kepada semkin kecilnya omzet yang diperoleh koperasi bisa di lihat dari beberap aspek. Penyebab utama yang bisa diihat adalah terus turunnya jumlah koperasi aktif .
Persoalan utama peningkatan jumlah koperasi tidak aktif adalah kapabilitas pengelola yang kurang memadai di sisi lain minat masyarakat mendirikan koperasi juga terbilang rendah.
Alasan kenapa publik cenderung enggan berkoperasi bisa sangat beragam tetapi penyebab paling umum adalah rumitnya proses pendirian koperasi yang harus mengumpulkan sejumlah orang untuk bisa mengajukan pendirian koperasi.
Ketidakmampuan koperasi menawarkan nilai lebih secara ekonomi kepada masyarakat juga menjadi penyebab rendahnya minat anggot aktif berkoperasi.
Nilai tambah ekonomi adalah prasarat dasar sebuah koperasi bisa berkembang atau tidak. Konsep koperasi Bung Hatta sang proklamator sejak awal menjadikan nilai tambah ekonomi tersebut sebagai pondasi koperasi. Koperasi seharusnya bisa menjual barang lebih murah atau bisa memberikan syarat lebih mudah, bunga lebih murah dan lebih cepat di bandingkan layanan non koperasi.
Peluang Besar Koperasi Jogja Di Ambil Fintech
Pada artikel sebelumya koperasi.net pernah menurunkan sebuah ulasan tentang koperasi simpan pinjam terancam fintech, kondisi tersebut nampaknya terjadi di DIY. Besarnya jumlah penduduk yang tidak bankable di Jogja menjadi potensi market yang sangat besar untuk fintech terutama yang bergerak di bidang kredit online. Tingkat bankable yang hanya 36% sebenarnya adalah pangsa pasar yang sanagt besar untuk koperasi sayangnya angka penerima kredit dari koperasi di jateng dan DIY tidak mencapai angka 8 %.
Peluang besar pembiayaan online ini bukan hanya isapan jempol, fintech uang teman yang baru beroperasi tahun 2015 mampu mengumpulkan 2000 nasabah hanya dari jateng dan DIY. Sekitar 60 % konsumen berasal dari DIY dan sisanya 40 % dari jateng.
Tidak hanya fintech, bank plecit atau bahkan rentenir berkedok koperasi juga mengambil peluang dari kelemahan koperasi, tidak jarang konsumen kredit ini terjebak kepada bunga yang sangat besar dan terus menerus dikejar oleh deep collector.
Kenapa pesona fintech dan bank plecit yang sama2 mematok bungsa sangt tinggi lebih di sukai konsumen? Ada kelemahan mendasar koperasi yang menjadi kelebihan fintech serta rentenir, waktu dan kemudahan.
Dengan dukungan teknologi fintech bisa mencairkan pinjaman hanya dalam jangka waktu 1 sd 2 hari tanpa jaminan dengan plafon hingga beberapa juta, Rentenir bisa lebih kilat lagi juga tanpa jaminan.
Jika fintech mengutamakan teknologi, maka rentenir mengutamakan kedekatan personal atau bahkan ancaman fisik, sasaran mereka lebih banyak pedagang pasar yang mudah untuk di temui.
Jika koperasi mampu menarik minat publik dengan memberikan pelayanan cepat, syarat ringan dan harga lebih murah saya yakin koperasi akan mampu tumbuh dengan sangat cepat.